"Menanti" sangat melelahkan. Untuk dapat bergerak maju, apakah cukup hanya dengan menanti?
Tidak. Menanti, lalu berusaha. Semua akan indah pada waktunya.
Sebagai mahasiswa semester tua, sebut saja semester 8, keseharian gue tidak lepas dari kegiatan yang menjadi salah satu "kebahagiaan mahasiswa": skripsi . Terdiri dari banyak bab, skripsi sering kali menjadi kegalauan maksimal bagi para mahasiswa yang menjalaninya. Memilih judulnya saja sudah bingung, apalagi isinya, baik di bagian pendahuluan yang mencakup latar belakang, tujuan, dan batasan masalah, bagian isi yang mencakup tinjauan pustaka, data pengamatan, dan analisis, serta bagian penutup yang mencakup kesimpulan, saran, daftar pustaka, dan lampiran. Bagian-bagian tersebut belum menyinggung bagian "pra"-pendahuluan, ya, yang termasuk di dalamnya daftar isi, daftar gambar, ucapan terima kasih, abstrak, dan berbagai komponen lainnya yang menunjukkan betapa skripsi sangatlah menyenangkan *uhuk*. Terkadang, hal-hal detail dapat menjadi sesuatu yang menghambat pekerjaan, seperti misalnya penulisan daftar isi yang halamannya dapat berubah-ubah dan menjadi tida...
Gambar 1. Membuat daftar isi otomatis Keseharian gue sekarang boleh dibilang tidak dapat terpisahkan dari salah satu calon karya ter-favorit gue: skripsi . Selain dari otomatisasi daftar pustaka yang telah gue tulis di post yang lalu, gue juga melihat otomatisasi lain yang (semoga) dapat memudahkan kalian dalam membuat skripsi, laporan kerja praktek, karya ilmiah, ataupun membuat novel, yaitu otomatisasi daftar isi. Gue ingat pada zaman dahulu kala ketika (sepertinya) gue masih SMP (atau mungkin SD), gue baru bisa menuliskan daftar isi setelah gue selesai menuliskan makalah/artikel/laporan tugas sekolah. Hal tersebut dilakukan secara manual dengan melihat nomor halaman yang tertera pada Microsoft Word. Untungnya, waktu itu sebanyak-banyaknya laporan untuk tugas paling banyak kurang lebih 10 halaman. Tentunya bukanlah sebuah masalah besar untuk menuliskan daftar isinya satu per satu dengan melihat nomor halamannya. Namun, semakin tinggi tingkat pendidikan kita, tingkat kesu...
Eits... Jangan pikir saya yang beli gitar. Yang beli itu sepupu saya. Dia emang udah mau beli gitar sejak lama, tapi masih belum cukup uang. Nah, setelah dapat THR, kemarin dia beli gitar baru bersama saya. Horee... Kesampean deh akhirnya keinginannya membeli gitar. Dengan uang sendiri kan jadi lebih afdhol. Anehnya, dia lebih memilih membeli strap gitar daripada sarung gitar, padahal menurut saya beli sarung gitar lebih penting, biar gak debuan. Terserah dianya juga sih, kan bukan saya yang beli. Terakhir saya bilang, "senarnya masih jelek, mendingan ganti yang baru." Jadi, kemungkinan dia juga akan beli senar baru. Hari ini saya berencana pergi ke rumahnya dan menyetem gitar barunya itu. Sekalian main juga sih, hhe
Komentar
Posting Komentar