Kisah Klasik Bersepeda
Beberapa waktu yang lalu
gue melihat ada tiga anak kecil sedang menaiki sebuah sepeda. Suatu saat mereka
hampir terjatuh. Tentu saja penumpang yang belakang merasa kecewa dan berkata "Ah, kamu!". Lalu pengendara
sepeda tadi berkata, "Yang penting senang, kan?"
Gue teringat pengalaman
gue bersepeda dulu. Walaupun gue bukan orang yang sering bermain keluar bersama
tetangga untuk main kejar-kejaran, ataupun ramai-ramai bermain bola plastik di
gang, tetapi gue tetap merupakan salah satu anak yang sering bermain keluar
untuk bersepeda. Kalau gue tidak salah ingat, mungkin hampir setiap akhir pekan
gue selalu bersepeda. Walaupun hanya dalam berkeliling sekitar rumah dengan
jarak yang relatif pendek (tidak sampai puluhan kilo), sudah cukup lah
membuat gue berkeringat.
Gue melewati sejarah
panjang sampai gue benar-benar bisa naik sepeda roda dua dengan baik.
Sepertinya cinta gue kepada sepeda diawali dari sepeda roda tiga yang
pernah gue miliki, yang gue rasa sangat
keren. Entah apa yang membuat gue
beralih ke sepeda roda dua. Sudah tidak cocok juga gue untuk naik sepeda roda
tiga dengan badan gue yang gendut dulu *sampai sekarang juga sih haha*. Tentu
tidak langsung roda dua, tetapi diawali dengan dua roda tambahan sebagai
bantuan agar sepeda gue tetap stabil dan gue tidak jatuh. Kenyataannya, ya namanya
juga hanya roda bantuan, gue tetap saja pernah jatuh. Bahkan mobil saja bisa
terbalik kalau terjadi kecelakaan, bukan? Tapi apalah daya, gue sudah terlanjur
cinta bersepeda. Berapa kali pun terjatuh, gue tidak pernah berpikir untuk
berhenti bersepeda.
Kisah "jatuh dari
sepeda" semakin banyak ketika gue melepas roda bantuan yang sudah mulai
bengkok tidak jelas karena kebrutalan gue. Pernah suatu ketika, karena gue yang
masih kecil suka iseng dan berimajinasi, gue mencoba untuk ngebut
melewati genangan air. Bayangan gue adalah air yang gue lewati tadi akan
terbelah dan membuat suatu efek yang keren, tapi ekspektasi tidak akan terjadi
ketika kenyataan berkata lain. Ternyata genangan air tersebut timbul akibat
lubang yang cukup dalam untuk membuat gue terjatuh dari sepeda. Jadilah luka
lecet tercipta, pedal sepeda gue harus sampai copot, dan gue terpaksa pulang
dengan mendorong sepeda gue. Ada-ada saja.
Orangtua gue senantiasa
mendukung gue untuk semangat bersepeda karena mereka juga suka berolahraga.
Salah satunya adalah dengan meng-upgrade sepeda gue menjadi sepeda
gunung alias membelikan gue sepeda baru. Bahkan membeli sepedanya pun susah
payah sampai harus bersempit-sempitan di mobil. Semua itu terbayarkan dengan
nyamannya penggunaan sepeda gunung yang mempunyai fitur "ganti gigi".
Ah, senangnya masa-masa itu.
Banyak kebahagiaan yang gue
rasakan saat bersepeda. Selain untuk memenuhi kebutuhan gerak tubuh, gue merasa
nyaman ketika melihat pemandangan sekitar. Bahkan waktu itu gue pernah pergi
naik sepeda untuk melepas stres akibat kalah terus dalam permainan komputer.
Sekembalinya dari bersepeda, gue menjadi tenang.
"Life is like riding a bicycle. To keep your balance, you must keep moving." --Albert Einstein
Komentar
Posting Komentar