Pahit Kopi Kebun

Slurp… begitu suara merdu yang terdengar dengan aroma yang sungguh menggelitik hati. Hiruk pikuk keramaian tak mengusik kenikmatan segelas cappuccino-ku; hanyut tenggelam sampai ke dalam jiwa. Lembut krim susu bersembunyi dalam kuat kafein yang mengalir keras menyisir sayap kiri otak, dan perlahan membasahi bagian sebelahnya.

Slurp… hangat seteguk kopi memang tak ada bandingnya. Halaman depan rumah seolah hanya menjadi penghias, dan semua serangga berisik itu tak dapat menggangguku mencerna setiap tetes kopi yang sedikit demi sedikit mengalir melalui kering tenggorok yang menjerit histeris menyambut kedatangan tamunya itu. Sesuatu yang special memang selalu ditunggu. Ketika ia datang, tak satupun orang bodoh yang akan melepasnya dengan suka cita.

Kalau dipikir lagi,ternyata pemandangan di depanku ini boleh juga. Mekar bunga kemerahan tertawa riang. Tentu saja senyum hijaunya itu yang paling menyilaukan hati. Sejenak aku melupakan kopiku dan mengagumi keindahan lain di depan mataku. Lalu aku tersentak saat kopiku berteriak.
Slurp… aku kembali ke duniaku. Namun tak lagi sepenuhnya aku nikmati kopi yang mulai dingin ini. Perhatianku ada di dua dunia: mata memandang kebun sembari tangan menggenggam cangkir. Hati yang tak tertuju sedang mengawang di bawah langit biru. Bengong.


Slurp… aku masih mencoba berusaha menukmati kopiku, namun ia sudah tak tahan lagi. Memanfaatkan kekosonganku, ia melompat jatuh, dan PRANG! Tamat sudah riwayatnya. Tak ada lagi kehangatan yang menyelimutiku. Aku diam membisu karena aku tahu aku berdusta pada dunia. Ilusi kebun indah hanya membuat gelas pecah. Aku kehilangan keduanya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Daftar Isi Otomatis dari Microsoft Word

3rd Accident

Daftar Pustaka Mudah dengan Mendeley