Sinar Sandaran Semut

Halo, pagi! Halo, mentari! Kilaumu memang selalu membuat pagiku bermakna. Kehadiranmulah alasanku masih terbangun di pagi ini. Dekapan hangatmu diiringi senyuman cerah yang menghasilkan rona merah wajahku. Ah… nikmatnya. Setidaknya itu yang ada dalam benakku. Aku masih terpejam. Presensimu dalam keseharianku yang membawaku terus membayangkanmu.

Aku masih tebaring di atas surga dunia. Kasur kecilku ini telah mengambil tempat tersendiri jauh di dalam hatiku. Ialah yang menemaniku sedari aku masih amat belia. Tak terhitung pula berjuta cerita hati yang tak bosannya ia dengarkan; saksi bisu dalam kisah pilu hujan malam. Kesendirianku memang menyebalkan.

Aku belum lama mengenal mentari. Maklum, aku biasa tinggal di bawah gundukan tanah berliku yang sudah kuberi tanda arah pada jalan yang biasa aku lalui agar aku tak tersesat. Nasibku memang tak seberuntung semut lainnya, yang selalu pergi bersama, bergotong royong menyimpan cadangan makanan musim dingin, dan bahu membahu membantu Sang Ratu. Aku hanyalah seekor semut kecil yang tersesat, bahkan tak tahu jati diriku yang sebenarnya: apakah benar aku seekor semut?

Yang kutahu hanyalah menjalani hari, mencoba menjalani hidup dan bertahan atas segala mara bahaya yang menerjang. Biarpun aku sendiri miris akan kondisi yang kualami, aku menikmati kesendirianku. Apalagi kehadiran mentari yang sangat membahagiakanku walau kutahu masih banyak hutang pada kasurku tercinta. Merekalah alasanku masih berada di sini, memberikan kehangatan dan kenyamanan yang selalu kudambakan. Kalau boleh memilih tentu aku ingin penghidupan yang lebih berwarna. Namun aku yakin, tak sedikit pula semut-semut lain yang tak seberuntung diriku karena mereka bahkan mungkin saja mereka tak memiliki kasur untuk bersandar ataupun matahari yang selalu menyinari. Aku bersyukur.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Daftar Isi Otomatis dari Microsoft Word

3rd Accident

Daftar Pustaka Mudah dengan Mendeley