Memposisikan DIri

Gambar 1. Tas kecil
Jadi beberapa waktu yang lalu, gue pulang naik kereta. Di sana, gue berdiri di dekat seorang bapak yang ternyata merupakan seorang tuna wicara. Ia hanya dapat berkomunikasi dengan bahasa isyarat, tampak sekali bahwa terlalu banyak kata yang ia ingin sampaikan, tapi apa daya mulut tak dapat berucap. Oleh karena komunikasi yang dapat ia lakukan hanya dengan isyarat, akhirnya gue pun mencoba *dengan bahasa isyarat amburadul karya Ricky Nauvaldy* untuk berkomunikasi dengannya. Walaupun ada beberapa miss yang tidak gue herankan karena memang tidak ada dasar yang kami berdua sama-sama mengerti, tetapi perasaan "dihargai" merupakan sesuatu yang tidak ada duanya. Apa yang kami obrolkan? Itu, gambar disamping. Jadi, gue hanya bawa tas yang besarnya kecil *loh*. Ukurannya boleh dibilang lebih cocok untuk dipakai oleh anak TK, walaupun sebenarnya tas ini memang didesain bukan hanya untuk anak TK. Hal tersebut yang dia merasa "lucu" dan tak hentinya dia menertawakannya. Gue ketawa aja karena gue menyadari itu *haha*. Dia juga pamer tas dia yang ada gambar monyet + kupingnya. Sepertinya dia sangat menyayangi tas tersebut. Sebelum berpisah, tak lupa kami berjabat tangan. Wow, perasaan yang cukup aneh. Setidaknya percakapan sederhana tersebut telah cukup membawa kami untuk saling menghargai.

Gue seringkali "memposisikan diri" untuk menjadi seseorang dan membayangkan apa rasanya menjadi orang tersebut. Kalau ternyata gue tidak bisa berbicara, apakah gue akan menjadi penyendiri? Apakah gue akan menutup semua komunikasi dengan dunia luar? Apakah gue akan menjadi sedih karena tidak ada yang dapat mengerti gue? Apakah orang akan menjauhi gue karena gue berbeda? Sedih pasti rasanya apabila terjadi demikian *amit-amit*. Namanya juga manusia, makhluk sosial, tentu ingin ber-"sosial". Lalu gue mencoba memposisikan diri sebagai bapak itu, dan mencoba untuk berkomunikasi dengannya. Mungkin dia akan senang. Tidak ada yang tahu, tapi setidaknya dia sudah puas menertawai tas gue *haha*.

Pernah terpikirkan, apa rasanya jadi tukang angkot? Apakah dia bahagia? Apakah dia stres karena tak kunjung dapat penumpang, sementara perjalanan panjang mengharuskan ia membeli bensin yang mahal *walaupun sekarang BBM baru turun*? Apakah dia kesal dengan pemilik angkot tersebut yang *mungkin* meminta setoran yang mahal? Apa pula pendapat dia tentang orang-orang "nakal" yang membayar kurang dari tarif? Entahlah, memposisikan diri sebagai orang lain membuat gue lebih toleran kepada siapapun. Bukan berarti hendak menjadi persis sama dengan orang tersebut, tapi mencoba untuk memahami apa yang dia rasakan. Pada akhirnya gue tidak akan melakukan hal-hal yang gue tidak suka jika gue menjadi dia, karena kemungkinan besar dia juga tidak menyukainya. Boleh, lahya, untuk sekedar dijadikan referensi diri agar tidak semata-mata mementingkan egoisme pribadi, dan berusaha untuk menjadi makhluk sosial yang memiliki empati yang baik. Think about the others, but be yourself.

P.S. Hati-hati, pembelajaran ada dimanapun

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Daftar Isi Otomatis dari Microsoft Word

3rd Accident

Daftar Pustaka Mudah dengan Mendeley